Lapor Harta Kekayaan untuk Apa?
Kewajiban untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tertuang dalam Undang-Undang (UU) dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi. LHKPN ini masuk ke dalam top 10 pertanyaan tentang korupsi yang sering dicari masyarakat. Sebenarnya apa sih korupsi dan LHKPN itu? Bagaimana hubungan keduanya? Apakah ada peraturannya? Serta, siapa saja yang wajib membuat LHKPN?
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Sebelum membahas mengenai LHKPN, sebaiknya lebih dulu memahami apa itu KKN atau Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang saling berhubungan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyalahgunaan atau penyelewengan uang negara baik di dalam perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara Kolusi adalah persekongkolan atau kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji, dapat dilakukan antara pejabat dengan pengusaha. Sedangkan Nepotisme adalah kecenderungan atau keberpihakan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan ataupun pangkat di lingkungan pemerintah.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) adalah daftar seluruh harta kekayaan penyelenggara negara, pasangan, dan anak yang masih menjadi tanggungan yang dituangkan di dalam formulir LHKPN yang ditetapkan oleh KPK. Pasangan dan anak perlu dilaporkan karena tidak jarang kita temukan tingkah pejabat dan keluarganya dalam berbelanja barang ke luar negeri hingga ratusan juta rupiah dalam sekali belanja. Semakin tingginya perhatian publik saat ini serta adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat masyarakat dapat turut serta mengawasi kekayaan yang dimiliki Penyelenggara Negara tersebut apakah wajar atau tidak wajar.
Hubungan antara KKN dan LHKPN
Laporan harta kekayaan berisi informasi dari penyelenggara negara, istri, dan anak, berupa informasi aset yang dimiliki, pendapatan dan pengeluaran, hal-hal yang diterima di luar pendapatan (uang, barang, ataupun jasa), jabatan baik yang menghasilkan manfaat keuangan atau tidak. LHKPN memiliki manfaat ganda, yaitu untuk pencegahan dan penindakan.
LHKPN sebagai pencegahan karena LHKPN lahir dari proses pelaporan yang dilakukan pejabat publik sebelum menjabat, saat menjabat, dan setelah menjabat. Penyelenggara negara atau pejabat publik diharapkan akan merasa terpantau dengan melaporkan harta kekayaannya sehingga berpikir beberapa kali apabila akan melakukan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
LHKPN juga dapat digunakan sebagai alat deteksi kemungkinan kekayaan Penyelenggara Negara berasal dari sumber yang tidak sah atau terdapat potensi konflik kepentingan. Sehingga, LHKPN bermanfaat untuk penindakan.
Peraturan tentang LHKPN
Kewajiban pelaporan harta tentu tidak serta merta dikeluarkan tanpa adanya landasan hukum, berikut aturan yang mengatur mengenai LHKPN:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi;
- Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
- Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: KEP. 07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
- Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
LHKPN Wajib Bagi
Sementara itu, mereka yang wajib untuk melaporkan kekayaannya adalah:
- Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
- Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
- Menteri
- Gubernur
- Hakim
- Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku
- Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, meliputi:
- Direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
- Pimpinan Bank Indonesia
- Pimpinan Perguruan Tinggi
- Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan kepolisian Negara Republik Indonesia
- Jaksa
- Penyidik
- Panitera Pengadilan
- Pemimpin dan Bendaharawan Proyek
- Pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan atau lembaga negara
- Semua kepala kantor di lingkungan Departemen Keuangan
- Pemeriksa Bea dan Cukai
- Pemeriksa Pajak
- Auditor
- Pejabat yang mengeluarkan perizinan
- Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat
- Pejabat pembuat regulasi
Hajatan pemilihan umum yang sebentar lagi diselenggarakan tentu sedikit banyak mengundang antusiasme masyarakat terhadap calon-calonnya. Banyaknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi sebelumnya tentu membuat masyarakat lebih waspada dalam memilih wakil rakyat selanjutnya. Masyarakat diharapkan dapat bijak dalam memilih. Untuk penjelasan tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme lebih lanjut, bisa mengunjungi laman web ACLC KPK, ada contoh dalam bentuk film pendeknya juga loh!
Leave a Reply